7 Juli 2025

Hardiknas 2025, Jasman Jaiman: Pendidikan Kita Masih ‘Jalan di Tempat’

PEKANBARU, GentaRiau– Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 dirayakan dengan gegap gempita di berbagai penjuru negeri. Namun, dari Riau, praktisi pendidikan Drs.Jasman Jaiman, M.Ed menyampaikan refleksi dengan sorotan dan kritik tajan: pendidikan Indonesia masih jalan di tempat, bahkan terancam mundur jika tidak segera dibenahi secara jujur dan berani.

Dalam tulisan reflektifnya, yang juga diterima Redaksi media ini, Jasman yang dikenal sebagai pendidik berpengalaman sekaligus motivator pendidikan yang banyak menimba ilmu dari luar negeri ini mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar jargon politik atau proyek tahunan, tapi fondasi masa depan bangsa yang sejati.

Kritik pertama dari sosok yang belasan tahun malang melintang sebagai guru Matematika di SMA negeri maupun swasta di Pekanbaru ini tertuju pada kebijakan pendidikan gratis yang selama ini didengungkan oleh pemerintah.

Jasman yang mengakhiri pengabdian sebagai PNS di Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Riau ini menyebut narasi “gratis” justru malah seringkali menyesatkan karena tidak dibarengi dengan kualitas.

“Tidak ada pendidikan berkualitas yang benar-benar gratis. Untuk mencetak generasi unggul, kita butuh investasi besar pada guru, fasilitas, dan pelatihan,” tulis pria 70 tahun yang masih enerjik dan aktif di bidang pendidikan sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Islam Riau Global Terpadu (IRGT) yang mengelola SD dan SMP yang namanya cukup populer di Pekanbaru ini.

Jasman menyesalkan bahwa setelah pemilu usai, janji tinggal janji. Anggaran tak cukup, sarana prasarana terbengkalai, dan guru dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan memadai. Hasilnya? Generasi belajar dalam keterbatasan, semangat pun perlahan meredup.

Ilustrasi guru mengajar di kelas.

Wibawa Guru, Ijazah Palsu
Krisis lainnya yang disoroti adalah hilangnya wibawa guru akibat kekhawatiran melanggar HAM. Jasman menilai bahwa pendidikan telah diseret dalam tafsir sempit soal hak asasi, yang justru mengkerdilkan peran guru sebagai pembimbing.

“Ketegasan dalam mendidik adalah bagian dari kasih sayang. Kalau guru takut mendisiplinkan, lalu siapa yang akan membentuk karakter anak?” tandasnya  mempertanyakan.

Kegelisahan Jasman semakin dalam saat membahas maraknya ijazah palsu dan praktik nepotisme. Ia menyoroti fakta bahwa kini banyak posisi strategis diraih bukan oleh mereka yang berkualitas, tetapi oleh “orang dalam” yang punya akses.

“Apa gunanya gelar S1, S2, bahkan S3 jika jalan pintas lebih dihargai? Ini menghancurkan motivasi belajar generasi muda,” tukas pria bersahaja yang belakangan rajin menuangkan ilmu dan pemikirannya lewat tulisan artikel atau opini di berbagai saluran media sosial ini.

Jasman mengingatkan bahwa fenomena ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi penggerogotan sistem pendidikan dari dalam. Dan lebih menyedihkan, hal ini terjadi di institusi-institusi yang seharusnya menjadi teladan.

Butuh Keberanian dan Kejujuran
Menyikapi kondisi yang ironis tersebut, Jasman menyerukan pentingnya membangun sistem pendidikan yang tidak hanya adil, tapi juga rasional. Ia menyarankan sistem subsidi silang yang realistis—di mana yang mampu membantu yang lemah.

“Keadilan bukan berarti semua disamaratakan. Tapi bagaimana yang kuat menopang yang rapuh, agar semua bisa berdiri bersama,” terangnya.

Dalam penutupnya, Jasman menyuarakan pesan mendalam: jika Indonesia ingin menjadi bangsa besar, maka keberanian dan kejujuran dalam membenahi pendidikan adalah keharusan.

“Bangsa besar adalah bangsa yang memuliakan gurunya, membela ilmunya, dan menata masa depannya dengan hati yang jernih serta akal yang sehat,” ungkapnya.

Pendidikan, bagi Jasman, bukan ruang nyaman penuh slogan. Tapi medan perjuangan yang membentuk jiwa-jiwa tangguh, yang siap membela kebenaran—bukan mencari jalan pintas demi kedudukan.*