Presiden Joko Widodo “ditegur dan diperingatkan secara keras” oleh sejumlah sivitas akademika lantaran tindakannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan disebut sudah tidak bisa lagi ditolerir.
JAKARTA, GentaRiau – Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengatakan tindakan yang tak bisa ditolerir itu di antaranya “menggunakan” Mahkamah Konstitusi (MK) demi meloloskan putranya melaju dalam kontestasi politik, memperlihatkan keberpihakan pada salah satu calon tertentu, dan menyatakan keinginan untuk berkampanye.
Ia berharap dengan menggemanya seruan moral dari berbagai universitas ini, “Presiden Jokowi dan penyelenggara negara berubah dalam waktu sesingkat-singkatnya”.
Menanggapi manifesto dan seruan moral dari lima universitas tersebut, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana berkata hal itu adalah hak demokrasi.
Kendati begitu, dia menyebut bahwa di tahun politik – apalagi jelang pemilu– pertarungan opini pasti terjadi. Tapi akhir-akhir ini, katanya, ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral.
‘Peringatan keras’ untuk Presiden Jokowi
Dalam beberapa hari terakhir, setidaknya ada lima sivitas akademika menyampaikan kegelisahan dan keresahan atas situasi politik yang berlangsung jelang Pemilu 2024.
Mereka menyebut Presiden Jokowi telah menyimpang dari koridor demokrasi dan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan politik praktis.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Hurriyah, mengatakan apa yang disampaikan para akademisi itu merupakan “peringatan keras” kepada Presiden Jokowi atas keresahan publik yang meluas.
Sebab selama ini, katanya, kritikan maupun masukan yang diutarakan oleh masyarakat sipil diabaikan oleh pemerintah.
“Ini yang mendorong kampus untuk turun tangan langsung memberikan seruan moral dan kalau saya lihat ini sudah menjadi peringatan keras,” ujar Hurriyah kepada BBC News Indonesia, Jumat (02/02).
Pakar politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, sependapat.
Ia menilai seruan moral dari akademisi ini menandakan ada persoalan legitimasi etis yang berat di pemerintahan Jokowi – yang kalau terus menggelinding di ruang –ruang publik bisa menggerus kepercayaan publik pada Presiden.
Persoalan etis yang dimaksud adalah dugaan adanya konflik kepentingan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
“Putusan ini kan tentu mengarah ke Presiden Jokowi.”
“Ditambah lagi beberapa waktu lalu Jokowi mengeluarkan narasi presiden berhak kampanye. Tapi kalau lihat presiden berkampanye untuk anaknya, tidak etis dong karena medan elektoralnya tidak seimbang.”
Sialnya, menurut Huriyah dan Nicky Fahrizal, Presiden Jokowi mencoba membenarkan pelanggaran tersebut dengan dalih keabsahan konstitusi tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya etis atau tidak.
Padahal manuver seperti itu sama artinya merusak prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Bahkan bisa disebut pelanggaran etika yang luar biasa.
“Politik yang dipertontonkan Pak Jokowi adalah politik yang kotor, yang tidak ada etika sama sekali,” ujar Hurriyah.
Apa alasan akademisi mengeluarkan seruan moral?
Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengatakan apa yang mereka sampaikan itu adalah “teguran yang sangat keras”.
Sebab menurutnya, apa yang dilakukan Presiden Jokowi tak bisa lagi ditolerir.
“Karena sudah menggunakan MK untuk kepentingan kekuasaan, terutama untuk kepentingan keluarga. Itu sudah dipuncak batas yang tak bisa ditolerir lagi,” tegasnya.
“Sekarang juga kita lihat semua bagaimana Presiden ikut berkampanye, itu sudah melanggar… ada macam-macam UU yang dibajak sepotong-potong dan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, itu sudah melanggar.”
“Menyatakan berpihak, boleh kampanye, tidak bisa karena dia bukan kontestannya.”
Dia juga menekankan bahwa pernyataan dan seruan yang disampaikan para akademisi serta ilmuwan ini merupakan gerakan moral alias tidak ditunggangi kepentingan politik.
Untuk itu jika pemerintah masih memiliki hati nurani, tambahnya, maka harus berubah dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Yakni memastikan setiap orang bisa masuk ke ruang pencoblosan tanpa rasa takut, intimidasi dan tekanan.
Jika seruan tersebut tak didengar maka para sivitas “akan terus menerus berisik dan mengganggu”.
“Kami sedang melakukan kewajiban terhadap publik. Karena kami ilmuwan bukan hanya ada di menara gading, tapi keberadaan universitas harus bermanfaat kepada kelompok-kelompok di sekitar universitas,” tuturnya.
Sejauh mana seruan moral itu didengar dan berdampak?
Sejawaran dan akademisi, Andi Achdian, mengatakan seruan moral dari akademisi atau para intelektual sejatinya masih dihormati di masyarakat Indonesia karena posisi mereka yang bebas kepentingan politik.
Suara mereka, sambungnya, diyakini menyuarakan sesuatu yang bisa dipercaya selain dari pihak yang memiliki ‘kekuatan’.
Merujuk pada sejarah kontemporer di Indonesia, ucapnya, pernyataan para intelektual didengar dan punya dampak yang luas.
Di masa Orde Baru, hal itu terlihat kala akademisi menyampaikan keresahan mereka atas krisis politik di pemerintahan Suharto dan kemudian membuat mahasiswa dan buruh turun ke jalan untuk menggulingkan kekuasaannya.
Kini, menurut dia, situasi krisis politik itu sedang terjadi. “Jadi sense of crisis mulai mengental. Jadi semua bayangan yang buruk ada dalam situasi sekarang.”
Tetapi, ia ragu seruan moral yang dilayangkan para sivitas akademika saat ini bisa menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk memengaruhi keputusan politik pemerintah yang dianggap kebablasan.
Apalagi diwarnai oleh persoalan politik massa mengambang – yang dimaknai sebagai sekelompok orang yang tidak memiliki ideologi partai politik tertentu sehingga pilihan politiknya sangat kondisional atau rawan diarahkan pada politik uang.
Karena itulah seruan-seruan moral yang disuarakan itu hanya akan sampai di kalangan terdidik atau kelas menengah.
“Masyarakat kelas bawah tidak akan terpengaruh karena tidak ada sentimen krisis ekonomi.”
“Saat ini kita hanya ketemu di krisis politik, belum krisis ekonomi karena ekonomi cenderung stabil dan dia [Presiden Jokowi] memainkan bansos… jadi ada rem untuk orang marah.”
“Ini [seruan] tidak akan menjadi ledakan besar.”
Namun demikian, seruan moral dan manifesto dari sivitas tersebut semakin menguatkan ketidakpercayaan publik bahwa Jokowi bakal bersikap netral pada Pemilu 2024 mendatang.
Dan di dalam kabinetnya, akan terjadi gonjang-ganjing yang membuat sejumlah jajarannya mundur.
“Pembantunya mundur kan itu sinyal kekuasaan Jokowi sudah retak.”
“Dia [Presiden Jokowi] kemudian akan bertumpu pada orang-orang kepercayaannya yang lingkarannya makin mengecil.”
“Meskipun saya yakin, dia akan pertaruhkan semuanya. Sebab kalau Prabowo-Gibran kalah dia akan habis.”
Apa respons pemerintah?
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, mengatakan dalam negara demokrasi, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, seruan, petisi maupun kritik harus dihormati.
Pada Kamis (01/02), ujarnya, Presiden Jokowi telah menegaskan “freedom of speech” adalah hak demokrasi.
Kritikan juga sambungnya adalah vitamin untuk terus melakukan perbaikan pada kualitas demokrasi di negara kita.
Demikian pula perbedaan pendapat, perbedaan perspektif, perbedaan pilihan politik adalah sesuatu yg sangat wajar dalam demokrasi, jelasnya. Apalagi di tahun politik, jelang pemilu, pertarungan opini pasti terjadi.
Tetapi, akhir-akhir ini klaimnya, “terlihat ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral,” sebutnya dalam pesan tertulis kepada BBC News Indonesia.
“Strategi politik partisan seperti itu sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik. Namun ada baiknya, kotestasi politik, termasuk dalam pertarungan opini, dibangun dalam kultur dialog yang substantif dan perdebatan yang sehat.”
Ia melanjutnya bahwa presiden tetap berkomitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai nilai-nilai Pancasila dan koridor konstitusi.
Universitas mana saja yang suarakan seruan moral?
Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi yang pertama menyuarakan petisi kepada Presiden Jokowi pada Rabu (31/01) lalu.
Melalui petisi yang dinamai ‘Petisi Bulaksumur’, mereka meminta Presiden Jokowi dan jajarannya untuk kembali ke koridor demokrasi.
Pasalnya di masa pemerintahan Jokowi telah terjadi pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, dugaan keterlibatan aparat hukum dalam proses demokrasi, serta keberpihakan pada calon tertentu.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar UGM,” ujar Guru Besar UGM, Prof Koentjoro.
Menurut mereka, Presiden Jokowi sebagai alumni mestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Bukan malah menunjukkan bentuk penyimpangan pada prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Karena itulah, sambung Prof Koentjoro, melalui petisi ini sivitas akademika UGM mendesak dan menuntut aparat penegak hukum dan semua pejabat negara serta aktor politik yang berdiri di belakang Presiden Jokowi – termasuk presiden – untuk mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Mereka juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap juga langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang sebutnya terjadi pada pesta demokrasi elektoral.
“Demi memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat,” tutup Prof Koentjoro membacakan petisi.*
Sumber : bbccom/Indonesia
More Stories
Masa Tenang, Anies Reuni SMA, Prabowo Bersantai di Rumah, Ganjar Jalan-jalan
Jalintim di Pelalawan Masih Dilanda Banjir, Ini Penyebabnya
Tenggelam di Sungai Kampar, Bocah Caisar Ditemukan Meninggal Dunia