26 Agustus 2025

Miris ! Terpidana Agus Mengaku Haknya Diabaikan Hakim PN Tembilahan

TEMBILAHAN GentaRiau.com: Terpidana Agus, yang baru-baru ini kasusnya diputus Pengadilan Negeri Tembilahan dengan tuduhan pencurian, mengaku bahwa dirinya sejak sidang pertama hingga diputus bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Tembilahan tidak pernah ditawari dengan jelas bahwa dia punya hak untuk didampingi penasihat hukum secara cuma-cuma alias gratis karena termasuk keluarga tidak mampu.

Pengakuan Agus yang sejak awal dituduh mencuri sawit di lahan yang berada dibawah kekuasaannya itu dituduhkan dengan pasal 362 KUHP tentang pencurian. Adapun ancaman pasal 362 KUHP tersebut maksimal 5 tahun penjara, dimana setiap tersangka maupun terdakwa yang disangkakan atau dituntut dengan pasal yang diancam 5 tahun atau lebih memiliki hak untuk didampingi penasihat hukum. Bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu akan diberikan pendampingan berupa penunjukan penasihat hukum yang diberikan secara cuma-cuma alias gratis.

Akan tetapi berbeda dengan yang dialami Agus, dimana menurut pengakuannya ia tidak pernah ditawari dengan jelas haknya untuk didampingi oleh seorang penasihat hukum, seperti advokat atau pengacara dengan cuma-cuma atau gratis tersebut. Dalam wawancara khusus dengan wartawan di Lapas Tembilahan baru-baru ini, Agus dengan jelas mengatakan bahwa dirinya tidak pernah ditawari oleh jakasa maupun hakim bahwa ada haknya untuk didampingi penasihat hukum yang tidak perlu dibayar karena dirinya termasuk masyarakat tidak mampu secara ekonomi. Oleh karena itu, karena sadar dan merasa haknya tidak dipenuhi oleh hakim PN Tembilahan, Agus akhirnya memutuskan untuk melayangkan surat somasi dan keberatan kepada Hakim Pengadilan Negeri Tembilahan atas dugaan kelalaiannya terhadap hak dirinya sebagai terdakwa yang patut mendapat pendampingan penasihat hukum secara cuma-cuma itu.

‘’Saya ini kan orang tidak mampu pak. Saya ini juga orang bodoh lah, apalagi soal hukum pak. jadi saya tak tau bagaimana soal itu. Soal saya ditawari tentang penasihat hukum gratis itu, itu memang tidak ada pak. Kalau memang ada dijelaskan dan disebutkan gratis, tentulah saya mau pak,’’ ujar Agus mengakui.

Pria yang sudah berumur 60 tahun ini sambil menangis menceritakan kisah sedihnya yang menimpa dirinya yang dituduh mencuri itu. Hakim pun dalam hal ini terkesan seperti tidak ada menggali secara adil dan berimbang untuk membuktikan tuduhan mencuri kepada Agus. Hakim juga diduga tidak tau dan tidak memastikan apakah sawit yang dipanen oleh Agus itu adalah sawit yang berada di lahan milik perusahaan atau tidak. Sebab sampai saat ini, lahan sawit yang dimiliki oleh perusahaan PT.IJA dikabarkan belum memiliki izin satupun melainkan masih dalam pengurusan izin.

Salah satu bukti dia tidak bermaksud mencuri adalah sebelum memanen sawit itu, ia telah bersurat dan memberitahukan secara resmi kepada pihak perusahaan dan juga kepada Polsek Sapat bahwa dirinya akan memanen sawit di lahan yang masih dikuasainya itu. Apalagi surat tanah aslinya masih ada pada dirinya. Maka logikanya bagaimana mungkin niat mencuri itu diawali dengan pemberitahuan yang diyakini juga adalah haknya.

Menurut Agus, sawit yang memang ditanam oleh perusahaan PT.IJA itu berada di lahan yang mana lahan tersebut surat tanahnya ada pada dirinya atas hibah kuasa yang diberikan oleh pemiliknya bernama  Nahar yang hubungannya masih termasuk keluarganya yang sudah meninggal sejak lama. Dan tanah itu belum ada dijual kepada siapapun, termasuk kepada peruasahaan PT.IJA.

Ketika ditanya wartawan, kenapa Agus tidak membela diri dan mengatakan kepada hakim di persidangan bahwa ia bukanlah sebagai pencuri, karena tanah tersebut adalah dibawah kekuasaannya, Agus mengatakan hal itu sudah disampaikannya. Akan tetapi yang didapat Agus, ia malah kena marah oleh hakim yang menyidangnya yang mengatakan bahwa tak mungkin perusahaan yang sudah profesional beroperasi tidak punya bukti bahwa tanah itu adalah milik mereka yang mereka tanami sawit. Hal ini terkesan seolah hakim malah membela perusahaan yang belum pasti atas kepemilikan lahan tersebut dan juga belum memiliki izin HGU.

Maka, pada kasus tuduhan pencurian ini, Agus mengaku ia merasa dizalimi dan merasa tidak mendapatkan perlindungan dan pembelaan sedikitpun, baik dari Polisi, Jaksa apalagi Hakim yang menyidang perkaranya. Sehingga keadilan yang layak yang ia inginkan sebagai masyarakat tidak mampu jauh dari harapannya. ‘’Begitulah kalau nasib orang miskin pak, apalagi orang bodoh seperti saya kalau sudah berkasus dengan hukum pak,’’ kata Agus dengan mata berkaca-kaca.

Sambil mengusap air matanya, Agus hanya tertunduk tak banyak bicara. Sambil memandang dengan pandangan jauh, Agus berharap masih bisa mendapat bantuan agar kasus tanahnya tersebut bisa diselesaikan secara adil dan bijak dengan perusahaan. Karena, bagaimanapun, kata Agus, dirinya punya hak atas tanah yang saat ini diklaim oleh pihak PT.IJA yang katanya sudah dibeli itu. Padahal surat tanah aslinya masih ada pada dirinya dan perusahaan pun tidak pernah membuktikan kepada dirinya bahwa tanah tersebut benar sudah dibelinya atau tidak. Untuk itu, Agus berniat akan mengadukan nasibnya kepada Komnas HAM dan juga kepada Komisi Yudisial tentang haknya yang tak diberikan oleh hakim yang menyidangkan perkaranya itu.

Sementara itu Ketua Pengadilan Negeri Tembilahan ketika dikonfirmasi dan dimintai tanggapannya terhadap tuduhan Agus, melalui juru bicaranya, Safaria,SH, mengatakan, pihak Pengadilan Negeri Tembilahan sebenarnya sudah memenuhi hak daripada terdakwa bernama Agus untuk tawaran mendapatkan pendampingan penasihat hukum, namun Agus menolak dan tidak menginginkannya.

‘’Jadi begini, pada dasarnya hakim bersidang itu sesuai dengan hukum acara. Dalam persidangan, itu hakim sudah menawarkan. Terkait haknya, itu hakim sudah menanyakan, namun terdakwa tidak berkenan. Dan hal itu sudah dituangkan dalam berita acara,’’ kata Safaria.

Menurut Safaria, karena hal ini adalah dalam hal hak terdakwa, karena terdakwa menolak untuk didampingi penasihat hukum, maka haknya menjadi gugur. Tidak mungkin majelis hakim akan melakukan tindakan sendiri. Terkait somasi Agus, Safaria mengatakan, kalau terdakwa merasa keberatan atas putusan pidana itu, maka pasti ada upaya hukum yang dapat dilakukan, yakni banding, kasasi dan juga bisa Peninjauan Kembali (PK). ‘’Jadi bentuknya bukan somasi,’’ kata Safaria yang juga hakim di PN Tembilahan ini.

Kalau putusan di peradilan tingkat pertama tidak dibatalkan oleh peradilan ditingkat diatasnya, maka putusan tersebut menjadi inkrah, kata Safarina. Menurut hakim ini, orang miskin dan orang kaya sama saja di mata hukum. Hakim tidak akan memandang apakah terdakwa ini orang kaya atau orang miskin, semuanya sama saja dimata hakim. Dan perihal surat somasi dari Agus, pihak PN Tembilahan, kata Safaria,  tidak merasa perlu menanggapinya. Wawancara dengan media ini dianggapnya sudah sebagai bentuk klarifikasi dari pihak Pengasilan Negeri Tembilahan. (G/a)*